Rabu, 02 April 2008

Kabupaten Probolinggo

Probolinggo merupakan salah satu bagian dari Propinsi Jawa Timur yang terletak di kaki Gunung Semeru, Gunung Argopuro dan Pegunungan Tengger dengan luas sekitar 1.696,166 Km persegi, tepatnya pada 112° 51' - 113° 30' Bujur Timur dan 7° 40' - 8° 10' Lintang Selatan, berada pada ketinggian 0 - 2500 m dpl dengan temperatur rata-rata 27° Celsius sampai dengan 30° Celsius, sedangkan bagian selatan udaranya relatif bertemperatur rendah. Kabupaten Probolinggo termasuk beriklim tropis dan mempunyai dua musim yaitu musim kemarau dan musim hujan. Diantara kedua musim tersebut, terdapat musim pancaroba dengan tiupan angin yang cukup kencang dan kering, terkenal dengan sebutan Angin Gending'.

Dalam melaksanakan pembangunan pemerintah setempat berorientasi pada peningkatan sumber daya manusia melalui pemanfaatan sumber alam serta sumber-sumber yang lain. Kabupaten Probolinggo mempunyai banyak obyek wisata, di antaranya Gunung Bromo, air terjun Madakaripura, Pulau Giliketapang dengan taman lautnya, Pantai Bentar, Ranu Segaran dan Sumber Air Panas yang terletak di Desa Tiris serta candi Jabung yang mencerminkan kejayaan masa lalu. Selain itu Kabupaten Probolinggo memiliki bermacam-macam seni budaya khas, di antaranya Kerapan Sapi, Kuda Kencak, Tari Glipang dan Tari Slempang, Tari pangore dan Seni Budaya masyarakat Tengger. Selain obyek wisata dan keseniannya Kabupaten Probolinggo juga menghasilkan buah-buahan, sayur-sayuran serta hasil perkebunan lainnya yang sangat berperan dalam meningkatkan pendapatan asli daerah, guna memenuhi pembiayaan pembangunan dalam rangka pelaksanaan Otonomi Daerah.[1]

Sekilas Nama Probolinggo

Ketika seluruh wilayah Nusantara dapat dipersatukan di bawah kekuasaan Majapahit tahun 1357 M (1279 Saka), Maha Patih Mada telah dapat mewujudkan ikhrarnya dalam Sumpah Palapa,menyambut keberhasilan ini, Sang Maha Raja Prabu Hayam Wuruk berkenan berpesiar keliling negara. Perjalanan muhibah ini terlaksana pada tahun 1359 (1281 Saka).

Menyertai perjalanan bersejarah ini, Empu Prapanca seorang pujangga ahli sastra melukiskan dengan kata-kata, Sang Baginda Prabu Hayam Wuruk merasa suka cita dan kagum, menyaksikan panorama alam yang sangat mempesona di kawasan yang disinggahi ini. Masyarakatnya ramah, tempat peribadatannya anggun dan tenang, memberikan ketentraman dan kedamaian serta mengesankan. Penyambutannya meriah aneka suguhan disajikan, membuat Baginda bersantap dengan lahap. Taman dan darma pasogatan yang elok permai menyebabkan Sang Prabu terlena dalam kesenangan dan menjadi kerasan.

Ketika rombongan tamu agung ini hendak melanjutkan perjalanan, Sang Prabu diliputi rasa sedih karena enggan untuk berpisah. Saat perpisahan diliputi rasa duka cita, bercampur bangga. Karena Sang Prabu Maha Raja junjungannya berkenan mengunjungi dan singgah berlama-lama di tempat ini. Sejak itu warga di sini menandai tempat ini dengan sebutan Prabu Linggih. Artinya tempat persinggahan Sang Prabu sebagai tamu Agung. Sebutan Prabu Linggih selanjutnya mengalami proses perubahan ucap hingga kemudian berubah menjadi Probo Linggo. Maka sebutan itu kini menjadi Probolinggo.[2]

Pelaksanaan needs assessment di Kabupaten Probolinggo merupakan bagian dari program ICIP yang dilakukan untuk menggali berbagai informasi untuk melaksanakan program distance learning melalui pesantren. Program ini diharapkan menjadi program yang betul-betul dapat memberi manfaatnya bagi pesantren dan masyarakat sekitarnya, utamanya dalam bidang pengembangan sumber daya manusia, pendidikan. Untuk tujuan ini, maka needs assessment diharapkan mampu menggali apa sebenarnya yang sudah dicapai oleh pesantren di Probolinggo, apa yang perlu dikembangkan, apa yang dibutuhkan, bagaimana peluang kerjasama dengan pihak lain, dan sejauh mana keterbukaan mereka dalam menerima ide-ide baru.

Model dan metode yang digunakan dalam needs assessment ini adalah dengan cara melakukan wawancara mendalam dengan berbagai pihak, studi langsung dengan partisipasi di lapangan, serta analisis data-data yang ada di pesantren, pemerintah, dan desa. Para responden dalam studi ini, secara garis besar dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu: pemerintah setempat yang terdiri dari: Kandepag, Kadiknas, dan Lurah. Internal pesantren yang terdiri dari: Kyai, santri senior, dan ustadz-ustadz senior. Masyarakat setempat terdiri dari: Kepala Sekolah, guru-guru bidang studi, dan tokoh masyarakat. Dari mereka itu, digali berbagai informasi yang sangat dibutuhkan dan berkaitan dengan pendidikan, khususnya kaitannya dengan ICT, life skills, serta berbagai wawasan pemikiran keagamaan.

Demografi

Needs assessment program distance learning di Probolinggo dilaksanakan di Pondok Pesantren Nurul Jadid yang terletak di desa Karanganyar, Kecamatan Paiton. Desa Karanganyar adalah sebuah desa yang berada sekitar 30 meter ke arah timur Kota Probolinggo, Jawa Timur. Jarak antara pesantren dan kecamatan hanya 1 km dengan lama tempuh kurang lebih sekitar seperempat jam. Sedangkan jarak pesantren ke Kabupaten kurang lebih 45 km dengan lama tempuh 1,5 jam.[3] Sebelum dinamai Karanganyar desa ini dulu dikenal dengan nama Tanjung. Nama ini diambil dari sebuah pohon besar yang bernama tanjung. Bunga yang tumbuh di pohon itu dinamai bunga tanjung. Pohon besar tersebut berdiri tegak di tengah-tengah desa itu sejak jaman dahulu. Kemudian pula masyarakat setempat menganggap pohon tanjung mempunyai kelebihan dan keistimewaan. Tak heran, nama pohon itu diabadikan sebagai nama desa.

Peneliti tidak menemukan alasan perubahan nama desa tersebut. Pada awalnya desa merupakan hutan kecil yang banyak dihuni binatang buas. Kehidupan masyarakat menganut kepercayaan yang lebih mendekati animisme dan dinamisme. Hal itu terlihat jelas misalnya, dengan keberadaan beberapa pohon besar yang menurut mereka tidak boleh ditebang. Pohon-pohon itu diyakini sebagai pelindung mereka. Kenyataan lainnya adalah adanya upacara ritual dalam bentuk pemberian sesajen, utamanya ketika ada suatu hajatan. Sesajen itu disajikan kepada roh yang diyakini berada di sekitar pohon besar tersebut.

Dalam kehidupan sosial, masyarakat Karanganyar, dulunya sangat terbelakang. Mereka belum mengenal peradaban sama sekali. Hal itu, misalnya, terlihat dengan maraknya perjudian, perampokan, pencurian, dan tempat pekerja seks komersial. Di bidang ekonomi, masyarakat Karanganyar termasuk masyarakat yang sangat bergantung pada alam. Mereka menganggap bahwa jika yang diberikan oleh alam sudah tidak ada lagi yang bisa dimakan, maka mereka pindah ke tempat lain untuk mencari makan di daerah lain. Dengan demikian, waktu itu merupakan desa ‘mati’, karena di samping daerahnya masih dipenuhi denagn hutan jati dan penuh dengan semak belukar yang tidak menghasilkan nilai ekonomis, juga karena masyarakatnya yang tidak memperdulikan keadaan sekitarnya.

Dalam situasi dan kondi sisosial masyarakat seperti itulah, KH. Zaini Mun’im memutuskan untuk menetap dan bertempat tinggal bersama keluarganya di desa ini. Ada beberapa isyarat mengapa pilihan KH Zaini Mun’im mengarah ke desa Karanganyar. Pertama, ketika KH. Zaini Mun’im mengambil contoh tanah di desa Karanganyar, tiba-tiba beliau menemukan sarang lebah. Konon ini sebagai isyarat bahwa jika beliau menetap dan mendirikan pondok pesantren di desa Karanganyar, maka akan banyak santrinya. Kedua, isyarat yang yang datang dari KH Hasan Sepuh Genggong. Suatu saat ketika beliau mendatangi suatu pengajian dan melewati desa Karanganyar, beliau berkata kepada kusir dokarnya, “Di masa mendatang, jika ada kyai atau ulama yang mau mendirikan pondok di daerah sini (Desa Karanganyar), maka pondok tersebut kelak akan menjadi pondok yang besar, dan santrinya kelak akan melebihi santri saya. Ketiga, adalah isyarat dari alam itu sendiri, di mana kondisi tanahnya yang bagus dan masalah air tidak menjadi masalah. Di samping itu, desa Karanganyar merupakan tempat yang jauh dari keramaian kota (Kraksan), sehingga sangat cocok untuk mendirikan sebuah tempat pendidikan.[4]

Rata-rata penduduk di Karanganyar ini bekerja sebagai petani. Hanya 10% yang menekini dunia bisnis, termasuk pedagang. Dalam data monografi desa Karanganyar, luas desa tidak dicantumkan. Namun data lain yang bisa dijelaskan adalah potensi Sumber Daya Alamnya terdiri dari: Luas Kuburan 15. 000 M2, perkantoran 78 M2, pertokoan 888 M2, Sekolah 5. 580, M2, Pasar 29 M2, dan Jalan 3. 000 M2. Adapun jumlah penduduk desa Karanganyar adalah: laki-laki 2. 583 orang, perempuan 2. 609 orang. Sedangkan jumlah kepala keluarga adalah 1. 555 orang. Untuk status kewarganegaraannya, seratus persen WNI atau 5192 orang WNI, untuk WNA 0. Komposisi pemeluk agama di sana adalah: jumlah penganut Islam 5192 orang, Kristen 0 orang, Katolik 0 orang. Matapencaharian penduduk Karanganyar terdiri dari: karyawan 64 orang, wiraswasta 77 orang, tani 350 orang, peladang 150 orang, buruh tani 700 orang, buruh industri kecil 3 orang, buruh industri sedang 3 orang, buruh perikanan 150 orang, peternak 287 orang, penyakap 100 orang, pensiunan 3 orang, pegawai desa 12 orang, PNS 57 orang, ABRI 2 orang, guru 112 orang, bidan 1 orang, mantri kesehatan 4 orang. Keuangan dan sumber pendapatan desa, bantuan pemerintah Rp.38.125.000,- pendapatan asli desa Rp. 112. 500. 000,- Swadaya Rp. 600. 000,-. Sarana peribadatan yang ada di desa ini: masjid ada (tidak disebutkan jumlahnya), musholla ada (tidak disebutkan jumlahnya), gereja 0 buah. Sarana komunikasi lainnya, misalnya, Wartel ada 5 buah, telepon rumah 237 orang.

Sarana olahraga yang ada di Karanganyar ada 3 jenis (lapangan Sepak Bola, Bulu Tangkis, Bola Volly). Sarana sosial ada 16 jenis. Untuk pemukiman penduduk, terdiri dari: perumahan permanen tembok 951 buah, rumah permanen kayu 163 buah, rumah permanen bambu 381 buah. Di daerah ini tidak ada komplek perumahan. Kelembagaan desa: LKMD, PKK, Organisasi Pemuda, dan Karang Taruna. Sedangkan kelompok bidang kemasyarakatan terdiri dari: Majelis Taklim dan REMAS.[5]


Kesejahteraan

Dilihat dari tampilan fisiknya, seolah mereka rata-rata hidup berkecukupan. Berdasarkan pengamatan langsung oleh peneliti, memang banyak bangunan rumah yang terbuat dari tembok. Namun demikian, jika dilihat dari matapencaharian penduduk yang sebagian besar buruh tani, maka kesan awal bahwa mereka masyarakat berkecukupan tidak benar. Hal ini dapat dilihat dari panen penduduk, baik panen di sektor pertanian maupun perikanan. Misalnya, hasil panen palawija: Jagung 90 H, hasil panen 11 ton yang jika dirupiahkan senilai Rp. 69. 300. 000,- Hasil tangkapan/panen perikanan: Tongkol 1,5 ton atau senilai Rp. 3. 750. 000,-Tengiri 2, 3 ton atau senilai Rp. 13. 125. 0000,- Udang 2, 4 ton atau senilai Rp. 864. 000. 000,- Hasil Tanaman Padi: Padi 350 H hasil panen 6 ton atau senilai Rp. 210. 000. 000,- Hasil Perkebunan Rakyat: Tembakau 350 H hasil panen 10 ton atau senilai Rp 525. 000. 000,-.

Begitu juga dengan sarana produksi masyarakat, yang masih terbatas. Misalnya, sarana perikanan yang terdiri dari pemilik kapal 4 orang, pemilik perahu 35 orang, pemilik perahu tempel 10 orang. Sedangkan pemilik kendaraan bermotor dan pesawat TV: Pemilik kendaraan bermotor roda 2 jumlahnya 594 KK, kendaraan bermotor roda 3 jumlahnya 224 KK, pemilik kendaraan bermotor roda 4 jumlahnya 61 KK, dan pesawat TV jumlahnya 631 KK.[6] Dilihat dari komposisi jumlah keluarga sejahtera (tingkat 1 sampai dengan tingkat 3 ditambah lagi tingkat 3 plus) dan keluarga pra sejahtera adalah: Keluarga Pra-sejahtera 666 KK, Keluarga Sejahtera I 263 KK, Keluarga Sejahtera II 242 KK, Keluarga Sejahtera III 171 KK dan Keluarga Sejahtera III plus 213 KK.[7]

Pendidikan

Menurut Pak Rof’i,[8] Kasi Pemerintahan Desa Karanganyar, rata-rata pendidikan di desa ini adalah lulusan SD. Hanya Kecamatan Paiton yang memiliki fasilitas lembaga pendidikan terbanyak, dari mulai Sekolah Dasar sampai Perguruan Tinggi. Meskipun demikian, banyak di antara parasiswa yang melanjutkan pendidikan ke luar kota, hal tersebut dikarenakan mereka ingin mencari pengalaman pendidikan di luar kota. PP Nurul Jadid santrinya kebanyakan pendatang, misalnyam, dari Kalimantan, Singapura, Malaysia sampai Thailand. Bahkan menurutnya, guru-gurunya juga ada yang berasal dari luar negeri, yaitu dari Cina. Jumlah lembaga pendidikan di desa Karanganyar terdiri dari SD 2 buah, MI 3 buah, MIN 1 buah, MTsN, SMEA 3 buah, MAN 2 buah. Kualitas pendidikannya sudah cukup baik, bahkan terbaik kedua se-kabupaten.

Bagi mereka yang belum pernah mengenyam bangku sekolah, mereka mengikuti Program paket B ditemukan 1 orang yang diselenggarakan oleh Pak Mohammad Sidiq, pengawas pendidikan di Kranjingan yang dilaksanakan di Kecamatan Marong. Dulu pernah diselenggarakan di Kecamatan Paiton tetapi tidak berjalan lama.

Tingkat pendidikan penduduk desa Karanganyar dilihat dari jumlah warga penduduk yang sekolah SD tidak tamat 0 orang, tamat SD 759 orang, tamat SLTP 504 orang, tamat SLTA 201 orang, tamat D-1 1 orang, tamat D-2 11 orang, tamat D-3 9 orang, tamat S-1 152 orang, tamat S-2 14 orang. Dilihat dari angka putus sekolah usia 15-25 tahun 112 orang, SD 3 orang, SMP 42 orang, SMA 41 orang, PT 26 orang.

Pendidikan yang Dibutuhkan

Pendidikan yang dibutuhkan adalah SMP dan SMA. Adapun untuk life skill yang dibutuhkan di masyarakat Karanganyar adalah ilmu pertanian, ilmu perdagangan, perbengkelan, kursus menjahit, komputer dan penetasan telur. PP Nurul Jadid mengadakan pendidikan life skill dan banyak yang sukses, bahkan ada yang mendirikan sendiri sarana lapangan kerja. Di lingkungan pemerintahan desa Karanganyar sudah mulai diwajibkan untuk kursus komputer yang diselenggarakan oleh pemerintahan kabupaten. Hal ini paling tidak dinyatakan oleh Kasi Pemerintahan desa Karanganyar.

Hal yang sama dikatakan oleh Kasi PLS Diknas Hasin.[9] Menurutnya, pendidikan yang dibutuhkan untuk masyarakat Probolinggo harus lebih difokuskan pada soal-soal ketrampilan. Misalnya, bagaimana membuat jamu dengan ramuan tradisional dan bisa dipasarkan di masyarakat, membuat kripik singkong dengan menggunakan alat-alat modern, sehingga tidak kalah bersaing dengan produk-produk lainnya, bandeng presto atau membuat makanan khas yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Itu semuanya dilakukan tentu dengan harapan agar nantinya setelah lulus dari program belajar paket B dan C, warga belajar dapat mengembangkan keterampilannya di masyarakat. Dengan demikian mereka diharapkan bisa lebih mandiri dan tidak selalu menggantungkan dari pihak lain. Bahkan di masyarakat Probolinggo, setiap tahunnya diadakan lomba unjuk keterampilan sesuai dengan pengalaman yang mereka miliki. Senada dengan Pak Hasin di atas, kepala Depag Kabupaten Probolinggo Sholeh Fikri,[10] mengatakan bahwa pendidikan yang sangat dibutuhkan yang sesuai dengan kondisi sosio-kultural masyarakat di Kabupaten Probolinggo adalah keterampilan jahit menjahit, komputer, agar mereka bisa mandiri setelah lulus dari pendidikan. Bahkan, Pak Alfin[11], seksi PK Pontren Depag Kabupaten menambahkan, perlu diadakan pelatihan menejemen pesantren.

Sementara itu di tempat terpisah, Kepala Sekolah SMA Nurul Jadid, Syamsul Ma’arif[12] dan Kepala Biro Kepesantrenan, KH. Romzi, mengatakan, bahwa pendidikan yang terkait dengan life skill di Pondok Pesantren Nurul Jadid sudah lama dilaksanakan. Life skill yang dimaksud adalah memberikan keterampilan pada anak didik atau santri membuat abon dari ikan laut, pentol dari ikan laut, kripik dari ikan laut, es dari rumput laut. Dari program ini anak-anak diharapan dapat mengaplikasikan apa yang diperoleh dari pesantren kepada masyarakatnya. Kegiatan ini merupakan bagian dari program ekstra kurikuler. Artinya, kegiatan itu tidak masuk kurikulum formal.[13]



[1] Data Profil Kota Probolinggo di Diknas Kabupaten Probolinggo

[2] Lihat Data Profil Kota Probolinggo di Diknas Kabupaten Probolinggo

[3] Lihat Data Monografi Desa Karanganyar, Kecamata Paiton, Probolinggo

[4] Lihat Data Profil Pondok Pesantren Nurul Jadid tahun 2006.

[5] Lihat Data Monografi Desa Karanganyar, Kecamatan Paiton, Probolinggo Tahun 2006.

[6] Lihat Data Monografi Desa Karanganyar Kecamatan Paiton Kabupaten Probolinggo.

[7] Lihat Data Monografi Desa Karanganyar Kecamatan Paiton Kabupaten Probolinggo.

[8] Wawancara dengan Pak Rofi’ Kasi Pemerintahan Desa Karanganyar, Paiton, Probolinggo.

[9] Wawancara dengan Kasi PLS Diknas Kabupaten Probolinggo .

[10] Wawancara dengan Kepala Depag Kabupaten Probolinggo.

[11] Wawancara dengan Kepala PK-Pontren Depag Kabupaten.

[12] Wawancara dengan Kepala Sekolah SMA Nurul Jadid.

[13] Wawancara dengan Kepala Biro Kepesantrenan PP. Nurul Jadid,

1 komentar:

admin mengatakan...

mohon segera ditangani,karna sebagai alumni kamu malu.
http://santrizaha.blogspot.com/

Pengunjung ke

Kontak

Alamat: